WEBINAR NASIONAL “KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI : MAMPUKAH KEBIJAKAN NEGARA MELINDUNGI ?” 13 SEPTEMBER 2022

Dalam rangka Dies Natalis Fisip Universitas Mulawarman ke 60 Tahun 2022, Program Studi S1 Administrasi Publik menyelenggarakan Webinar Nasional yang mengangkat tema “Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi: Mampukah Kebijakan Negara Melindungi?” dengan empat narasumber dengan kompetensi dan pengalaman kerja serta kajian yang sangat banyak tentang isu-isu perempuan dan gender. Diantaranya Abby Gina Boang Manalu, M.Hum yang merupakan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan; Dr. Indraswari yang merupakan salah satu pengurus DPP Indonesian Association for Public Administration IAPA sekaligus dosen Universitas Katolik Parahyangan; Dr. Mardiana Ethrawaty Fachry yang merupakan Koordinator MDG’s Bidang Gender sekaligus dosen Pascasarjana Magister Gender dan Pembangunan Universitas Hasanuddin; serta Dr. Dhia Al Uyun yang merupakan Ketua Program Studi Magister Kajian Perempuan Universitas Brawijaya. Webinar diawali dengan uraian dari Dr. Fajar Apriani, M.Si. (Koordinator Program Studi S1 Administrasi Publik Fisip Universitas Mulawarman) yang bertindak sebagai pemantik tentang pentingnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dr. Santi Rande, M.Si. bertindak sebagai moderator.
Diawali dengan sambutan oleh Dekan Fisip Universitas Mulawarman, Dr. H. Muhammad Noor, M.Si. dan pembukaan acara secara resmi oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr. Encik Akhmad Syaifudin, MP, yang mewakili Rektor Universitas Mulawarman, webinar ini dihadiri oleh lebih dari 250 peserta dari berbagai kalangan maupun institusi / perguruan tinggi, webinar ini sukses terselenggara dan diharapkan dapat menambah kepedulian, wawasan dan pengetahuan bagi para peserta tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dikupas dari seberapa jauh peluang keberhasilan kebijakan negara yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi beserta seluruh pedoman-pedoman pelaksanaannya. Pelaksanaan webinar ini juga tayang secara live streaming pada link https://youtu.be/II2VXu6vFho.
Hasil survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI Tahun 2020 menyebutkan bahwa 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus dengan kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan. Selain itu, hasil survei menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 27 persen aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan. Data tersebut didukung oleh hasil survei Mendikbudristek yang mengungkapkan bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen), setelah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen). Maka dari itu, kekerasan seksual merupakan permasalahan sosial yang membutuhkan perhatian dan tindakan tegas dari pemerintah dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia, termasuk pada lingkungan Perguruan Tinggi. Selanjutnya ditemukan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi menempatkan perempuan (mahasiswi) sebagai korban dengan angka lebih dari 90 persen.
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal (Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021).
Kekerasan seksual secara sosial diakui sebagai sebuah permasalahan, namun cenderung dipandang sebagai masalah moralitas, kesusilaan umum, kehormatan atau sebagai kejahatan terhadap keluarga dan masyarakat. Maka dari itu kasus kekerasan seksual seringkali menimpakan beban moral dan stigma terhadap korban, bahkan keluarga korban, yang menyebabkan mereka malu untuk mengungkapkan pengalaman kekerasan yang pernah dialami. Sebab esensi kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap integritas tubuh seorang individu, seringkali diabaikan.
Banyak pelapor yang ketika menghubungan teman, senior, konselor bahkan pihak kampus, justru kemudian memilih mundur karena malu, bingung, takut atau putus asa terhadap kemungkinan kasusnya ditangani. Atau kebanyakan laporannya justru tersebar meluas menjadi bahan obrolan tanpa penyelesaian. Pelaku tetap mudah berkeliaran dan meninggalkan ketakutan pada oranglain. Atau bahkan “dilindungi” demi menjaga nama baik kampus. Bahkan mirisnya, ada “penanganan” yang berupa pengiriman pelaku untuk studi lanjut dan sejenisnya, yang justru bukan bentuk dari punishment atas perbuatannya terhadap korban. Padahal, perguruan tinggi seharusnya berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pembentukan watak dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Perguruan tinggi juga seharusnya menjadi tempat yang menyediakan layanan pendidikan yang baik dan aman bagi seluruh sivitas akademika, termasuk aman dari kekerasan seksual
Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *